RAHASIA FILSAFAT KEJAWEN
Dalam literatur dan
kaidah kebudayaan Jawa tidak ditemukan adanya pakem dalam kalimah doa
serta tata cara baku menyembah Tuhan. Dalam budaya Jawa dipahami bahwa
Tuhan Maha Universal dan kekuasaanNya tiada terbatas. Pun dalam kejawen,
karena bukan lah agama, maka dalam falsafah kejawen yang ada hanyalah
wujud “laku spiritual” dalam tataran batiniahnya, dan “laku ritual”
dalam tataran lahiriahnya.
Laku ritual merupakan
simbolisasi dan kristalisasi dari laku spiritual. Ambil contoh misalnya
mantra, sesaji, laku sesirih (menghindari laku pantangan) serta laku
semedi atau meditasi. Banyak kalangan yang tidak memahami asal usul dan
makna dari semua itu, lantas begitu saja timbul suatu asumsi bahwa
mantra sama halnya dengan doa. Sedangkan sesaji, laku sesirih dan laku
semedi dipersepsikan sama maknanya dengan ritual menyembah Tuhan. Asumsi
dan persepsi ini salah besar.
Menurut para pengamat,
kaum akademisi dan budayawan, ada suatu unsur kesengajaan untuk
mempersepsikan dan mengasumsikan secara tidak tepat dan melenceng dari
makna yang sesungguhnya. Semoga hal itu bukan termasuk upaya politisasi
sistem kepercayaan, untuk mendestruksi budaya Jawa yang sudah “mbalung
sungsum” di kalangan suku Jawa, dengan harapan supaya terjadi loncatan
paradigma kearifan lokal kepada paradigma asing yang secara naratif
menjamin surga.
Awal dari penggeseran
dilakukan oleh bangsa asing yang akan menjalankan praktik imperialisme
dan kolonialisme di bumi nusantara sejak ratusan tahun silam. Baiklah,
terlepas dari semua anggapan, asumsi maupun persepsi di atas ada baiknya
dikemukakan wacana yang mampu mengembalikan persepsi dan asumsi
terhadap ajaran kejawen sebagaimana makna yang sesungguhnya.
Setidaknya, kejawen
dapat menjadi monumen sejarah yang akan dikenang dan dikenal oleh
generasi penerus bangsa ini. Agar menumbuhkan semangat berkarya dan
nasionalisme di kalangan generasi muda. Di samping itu ada kebanggaan
tersendiri, sekalipun zaman sekarang dianggap remeh namun setidaknya
nenek moyang bangsa Indonesia pernah membuktikan kemampuan menghasilkan
karya-karya agung bernilai tinggi
MELURUSKAN MAKNA
Mantra tidaklah sama
maknanya dengan doa. Bila doa merupakan permohonan kepada Tuhan YME,
sedangkan mantra itu umpama menarik picu senapan yang bernama daya
hidup. Daya hidup manusia pemberian Tuhan Yang Mahakuasa. Pemberian
sesaji, laku sesirih (mencegah) dan laku semedi memiliki makna tatacara
memberdayakan daya hidup agar dapat menjalankan kehidupan yang benar,
baik dan tepat. Yakni menjalankan hidup dengan mengikuti kaidah “memayu
hayuning bawana”.
Daya kehidupan
manusia menjadi faktor adanya aura magis (gelombang elektromagnetik)
yang melingkupi badan manusia. Aura magis memiliki sifatnya
masing-masing karena perbedaan esensi dari unsur-unsur yang membangun
menjadi jasad manusia. Unsur-unsur tersebut berasal dari bumi, langit,
cahya dan teja yang keadaannya selalu dinamis sepanjang masa. Untuk
menjabarkan hubungan antara sifat-sifat dan esensi dari unsur-unsur
jasad tersebut lahirlah ilmu Jawa yang bertujuan untuk menandai
perbedaan aura magis berdasarkan weton dan wuku.
Aura magis dalam diri
manusia dengan aura alam semesta terdapat kaitan erat. Yakni gelombang
energi yang saling mempengaruhi secara kosmis-magis. Dinamika energi
yang saling mempengaruhi mempunyai dua kemungkinan yakni pertama;
bersifat saling berkaitan secara kohesif dan menyatu (sinergi) dalam
wadah keharmonisan, kedua; energi yang saling tolak-menolak (adesif).
Laku sesirih (meredam segala nafsu) dan semedi (olah batin) merupakan
sebuah upaya harmonisasi dengan cara mensinergikan aura magis
mikrokosmos dalam kehidupan manusia (inner world) dengan aurora alam
semesta makrokosmos (lihat juga dalam posting “Sejatinya Guru Sejati”).
Agar tercipta suatu hubungan transenden yang harmonis dalam dimensi
vertikal (pancer) antara manusia dengan Tuhan dan hubungan horisontal
yakni manusia sebagai jagad kecil dengan jagad besar alam semesta.
PRINSIP KESEIMBANGAN, KESELARASAN & HARMONISASI
Sesaji atau sajen jika
dipandang dari perspektif agama Abrahamisme, kadang dianggap
berkonotasi negatif, sebagai biang kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Tapi
benarkah manusia menyekutukan dan menduakan Tuhan melalui upacara
sesaji ini ? Seyogyanya jangan lah terjebak oleh keterbatasan akal-budi
dan nafsu golek menange dewe (cari menangnya sendiri) dan golek benere
dewe (cari benernya sendiri).
Maksud sesaji
sebenarnya merupakan suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual
yang kreatif untuk menselaraskan dan menghubungkan antara daya aura
magis manusia, dengan seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di
dunia ini, khususnya kekuatan alam maupun makhluk gaib.
Dengan kata lain
sesaji merupakan harmonisasi manusia dalam dimensi horisontal terhadap
sesama makhluk ciptaan Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran
manusia. Sekalipun manusia dianggap (menganggap diri) sebagai makhluk
paling mulia, namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa diri
paling mulia di antara makhluk lainnya. Karena kemuliaan manusia
tergantung dari cara memanfaatkan akal-budi dalam diri kita sendiri.
Bila akal-budi digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia menjadi
bangkrut, masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling
hina.
HARMONI & KESELARASAN MERUPAKAN WAHYU TUHAN
Dalam konteks
kebudayaan Jawa, wahyu diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung
pengertian suatu karunia Tuhan yang diperoleh manusia secara gaib. Wahyu
juga tidak dapat dicari, tetapi hanya diberikan oleh Tuhan, sedangkan
manusia hanya dapat melakukan upaya dengan melakukan mesu raga dan mesu
jiwa dengan jalan tirakat, bersemadi, bertapa, maladihening, dan
berbagai jalan lain yang berkonotasi melakukan laku batin.
Tapi tidak setiap
kegiatan laku batin itu akan mendapatkan wahyu, selain atas kehendak
atau anugrah Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan wahyu menurut kamus
Purwadarminta mempunyai pengertian suatu petunjuk Tuhan atau ajaran
Tuhan yang perwujudannya bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan sebagainya.
Dalam konteks budaya Jawa, wahyu dipandang sebagai anugrah Tuhan yang
sekaligus membuktikan bahwa Tuhan bersifat universal, Mahaluas tanpa
batas, dan Tuhan yang Mahakasih tidak akan melakukan pilih kasih dalam
menorehkan wahyu bagi siapa saja yang Tuhan kehendaki.
Falsafah Jawa
memandang suatu makna terdalam dari sifat hakekat Tuhan yang Maha Adil,
yang memiliki konsekuensi bahwa wahyu bukanlah hak atau monopoli suku,
ras, golongan, atau bangsa tertentu.
Mekanisme kehidupan di
alam semesta adalah bersifat dinamis. Dinamika kehidupan berada dalam
pola hubungan yang mengikuti prinsip-prinsip keharmonisan, keseimbangan,
atau keselarasan (sinergi) jagad raya seisinya. Dinamika dan pola
hubungan demikian sudah menjadi hukum atau rumus Tuhan Yang Maha
Memelihara sebagai ANUGRAH terindah kepada semua wujud ciptaanNYA, baik
yang bernyawa maupun yang tidak bernyawa.
WAHYU PURBA
Anugrah tersebut dalam
terminologi Kejawen dikenal istilah Wahyu Purba. Kata Purba, menurut
kamus Purwadarminta mempunyai arti memelihara. Wahyu Purba mempunyai
pengertian, Dewa Wisnu atau sama hakekatnya dengan kebenaran Illahiah,
adalah bersifat memelihara. Ini suatu pelajaran hidup yang mengandung
“rumus Tuhan” bahwa di dalam kehidupan alam semesta dengan segala isinya
termasuk juga manusia, semua dipelihara oleh kebenaran sejati, yakni
kebenaran Illahi. Di mana kehidupan alam semesta dan manusia akan
mengalami keselarasan, keselamatan, ketenteraman, kebahagiaan dan
kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan ditegakkan
dengan baik dan benar.
Walaupun manusia
percaya bahwa hidup ini dipelihara oleh kebenaran Illahi atau kebenaran
Tuhan, masih juga terdapat ketidakbenaran dan kejahatan yang dapat
menimbulkan kekacauan dan mengganggu keselarasan, kebahagiaan,
ketentraman dan kesejahteraan. Semua itu terjadi sebagai akibat
“kenekadan” manusia melakukan pelanggaran hukum kebenaran. Untuk
memelihara ketenteraman dan kesejahteraan dunia maka dewa Wisnu turun ke
dunia menitis pada Prabu Arjunawijaya (Arjunasasrabahu) raja Negara
Maespati, dan kepada Ramawijaya, raja Negara Ayodya.
WAHYU DYATMIKA
Barang siapa yang
berhasil membangun harmonisasi dan sinergi atau keselarasan energi
antara “jagad kecil” yang ada di dalam diri pribadi (inner world) dengan
“jagad raya” disebut sebagai orang yang sudah memperoleh wahyu
dyatmika. Dyatmika berarti batin, atau hati, wahyu dyatmika artinya
wahyu Tuhan yang diterima seseorang untuk memiliki daya linuwih meliputi
daya cipta, daya rasa, dan daya karsa yang disebut sebagai prana. Prana
dalam terminologi Jawa berbeda dengan perguruan tenaga prana
sebagaimana dikenal masyarakat sebagai seni bela diri dan olah tenaga
dalam.
HUBUNGAN MANTRA DENGAN PRINSIP KESELARASAN
Mantra adalah Teknologi Kuno
Perlu kita tegaskan
lagi bahwa mantra BUKANLAH DOA, akan tetapi merupakan sejenis SENJATA
atau ALAT berujud kata-kata atau kalimat sebagai “teknologi spiritual”
tingkat tinggi hasil karya leluhur nusantara di masa silam. Mantra
dibuat melalui tahapan spiritual yang tidak mudah, bentuknya laku
prihatin, perilaku utama dan maneges kepada Tuhan, yang ditempuh dengan
cara tidak ringan. Hasilnya beragam, secara garis besar ada dua jenis
mantra (baca; senjata) yakni;
1. Khusus menurut
fungsinya; hanya dapat digunakan untuk keperluan tertentu misalnya
menaklukkan musuh di medan perang. Atau diperuntukkan sebagai alat
“medis” sebagai mantra untuk penyembuhan.
2. Mantra khusus
menurut sifatnya; dibagi dua; pertama, mantra yang hanya dapat BEKERJA
jika digunakan untuk hal-hal sifatnya baik saja. Mantra jenis ini tidak
dapat disalahgunakan untuk hal-hal buruk oleh si pemakai. Mantra jenis
ini paling sering digunakan di lingkungan kraton sebagai salah satu
tradisi turun temurun. Kedua; mantra yang bersifat umum, bebas digunakan
untuk acara dan keperluan apa saja tergantung kemauan si pemakai.
Ibarat pisau dapat digunakan sebagai alat bedah operasi, alat memasak,
atau disalahgunakan untuk mencelakai orang. Namun mantra jenis ini
setiap penyalahgunaannya pasti memiliki konsekuensi yang berat berupa
karma atau hukuman Tuhan yang dirasakan langsung maupun kelak setelah
ajal.
Citra Buruk Karena Pemahaman Yang Salah Kaprah
Terdapat pula
kesalahan memaknai mantra secara simpang siur; di mana mantra dianggap
sebagai hal yang selalu berhubungan dengan setan/makhluk halus dan
bersifat negatif/hitam. Misalnya lafald komat-kamit yang diucapkan
seorang dukun santet, itu bukanlah sejenis mantra, namun password atau
kata kunci, atau kode isyarat berupa kata-kata untuk memanggil sekutunya
yakni sejenis jin, “setan” atau makhluk gaib sebagai pesuruh agar
mencelakai korbannya. Perlu saya luruskan bahwa yang demikian ini, bukan
termasuk mantra. Lalu apakah substansi dari mantra itu sendiri ?
Baiklah, berikut ini kami berusaha mendeskripsikan kronologi dan proses
bagaimana mantra (teknologi kuno) dapat diciptakan oleh manusia zaman
dulu yang banyak dicap menganut faham religi primitif.
Hamemayu Hayuning Bawono & RAT, serta Pangruwating Diyu
Di atas telah saya
singgung sedikit mengenai PRANA, sebagai sinergisme dan harmonisasi
energi vertikal-horisontal, mikro-makro kosmos, inner wolrd dengan alam
semesta, jagad kecil dengan jagad besar. Mantra merupakan salah satu
bentuk pendayagunaan prana. Khusus untuk mantra umum, agar supaya
siapapun yang memanfaatkan mantra umum tidak menyalahgunakannya untuk
hal-hal yang negatif, ajaran Jawa menekankan keharusan eling dan
waspada.
Sikap eling dan
waspada akan memelihara seseorang dalam mendayagunakan prana yang
berwujud mantra yang dimanfaatkan untuk kebaikan hidup bersama menggapai
ketentraman dan kesejahteraan. Yang paling utama bilamana semua jenis
mantra ditujukan sebagai upaya untuk keselarasan dan harmonisasi alam
semesta dalam dimensi horisontal dan vertikal dengan Yang Transenden.
Mantra adalah salah
satu bentuk pencapaian dalam pergumulan laku spiritual “Sastra Jendra”
sedangkan tujuannya yang mulia menjadi makna di balik “Hamemayu hayuning
Rat, hamemayu hayuning bawono, lan pangruwating diyu” (lihat posting;
“Puncak Ilmu Kejawen”). Menjadi satu kalimat dalam falsafah Jawa tingkat
tinggi yakni “Sastra jendra, hayuning Rat, pangruwating diyu”. Yang
tidak lain untuk menyebut pencapaian spiritual dalam konteks
kemanunggalan diri dengan alam semesta (Hamemayu hayuning Bawono).
Dalam rangka
panembahan pribadi dimanifestasikan budi pekerti luhur (Hangawula
kawulaning Gusti/Pangruwating diyu), keduanya BERPANGKAL dan BERUJUNG
pada panembahan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Hamemayu hayuning Rat).
Dengan kata lain budi pekerti membangun dua dimensi jagad, yakni; jagad
kecil (pribadi) dan jagad besar manembah kepada Tuhan YME.
Bentuk panembahan
dalam pada tingkat tata lahir (sembah raga/syariat) dimanifestasikan
dalam berbagai kearifan budaya yang menampilkan berbagai keindahan
tradisi misalnya; upacara ruwat bumi seperti garebeg, suran, nyadranan,
apitan dan sebagainya. Atau berbagai upacara kidungan, ritual gamelan,
bedhaya ketawang, dan seterusnya. Intinya adalah rasa kebersamaan dalam
manembah pada tingkat tata batin (sembah jiwa), menyatukan kekuatan
hidup atau prana kehidupan untuk mewujudkan mantra-agung (mahamantra)
yakni sastra jendra yang berfungsi membangun keseimbangan (balancing)
dan keselarasan (harmonic) antara aura spiritual manunsia dengan aura
spiritual jagad raya seisinya.
Tujuan utama dari
balancing dan harmonic jelas sekali jauh dari tuduhan subyektif musrik
maupun bid’ah, jelas ia sebagai bentuk konkritisasi doa untuk mohon
keselamatan bagi alam semesta dan seluruh isinya.
Sayang sekali, zaman
semakin berubah, perilaku budi daya yang memiliki nilai kearifan
(wisdom) yang tinggi, telah banyak ditinggalkan orang Jawa sendiri.
Alasannya demi mikul duwur mendhem jero falsafah dan budaya asing. Atau
takut oleh tuduhan-tuduhan subyektif, yang hanya berdasar prasangka
buruk (su’udhon), dan tidak berdasarkan metode ilmiah maupun informasi
lengkap dan jelas. Sebuah nasib yang tragis ! Tradisi yang masih dapat
dijalankan pun akhirnya hilang nilai kesakralannya. Grebeg, suran,
sadranan, apitan telah melenceng dari nilai luhur yang sesungguhnya
yakni menyatukan prana kehidupan. Sebaliknya tradisi tersebut hanya
sekedar menjadi tontonan murahan, menjadi kebiasaan yang diulang-ulang
(custom), pemerintah melestarikan tardisi hanya karena bermotif
materialistis laku dijual, dan menjadi daya tarik turis asing karena
mungkin dianggap aneh dan lucu saja. Seaneh dan selucu cara bangsa ini
memandang dan memahaminya.
Itulah, wujud “sejati”
wong Jawa kang kajawan (ilang jawane), rib-iriban. Manusia telah
menjadi seteru Tuhan, karena telah melanggar rumus (hukum) kodratulah,
yakni harmonisasi dan keseimbangan alam semesta. Rusaknya prinsip
keseimbangan alam semesta berakibat fatal dan kini dapat kita rasakan
dan saksikan sendiri; hujan salah musim, jadwal musim kemarau-penghujan
tidak disiplin, kekeringan, kebakaran, banjir, tanah longsor, elevasi
suhu bumi, distorsi cuaca, hutan gundul, sungai banyak kering, satwa
liar semakin langka dan mengalami kepunahan. Distorsi musim
mengakibatkan gagal panen, hama tanaman, wabah penyakit aneh-aneh
(pagebluk), serangan hawa panas dan hawa dingin secara ekstrim.
Semoga ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua. Rahayu..rahayu
Sumber Tulisan dari: kaskus.com

Ilmu Islam Kejawen

Sebelum
membahas Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen, kita akan memperjelas dulu
pengertian Ilmu Gaib yang kita pakai sebagai istilah di sini. Ilmu Gaib
adalah kemampuan melakukan sesuatu yang tidak wajar melebihi kemampuan
manusia biasa, sering juga disebut sebagai Ilmu Metafisika, Ilmu
Supranatural atau Ilmu Kebatinan karena menyangkut hal-hal yang tidak
nampak oleh mata. Beberapa kalangan menganggap Ilmu Gaib sebagai hal
yang sakral, keramat dan terlalu memuliakan orang yang memilikinya,
bahkan menganggap wali atau orang suci.
Perlu diterangkan, bahwa keajaiban atau karomah yang ada pada Wali (orang suci kekasih Tuhan) tidak sama dengan Ilmu Gaib yang sedang kita pelajari. Wali tidak pernah mengharap mempunyai keajaiban tersebut. Karomah itu datang atas kehendak Allah karena mereka adalah orang yang sangat saleh dan rendah hati. Sementara kita adalah orang yang meninta kepada Allah agar melimpahakan kekuasaan-Nya untuk keperluan kita.
Dalam hasanah perkembangan Ilmu Gaib di Indonesia, kita mengenal dua aliran utama yaitu Aliran Hikmah dan Aliran Kejawen. Aliran Hikmah berkembang di kalangan pesantren dengan ciri khas doa/mantra yang murni berbahasa Arab (kebanyakan bersumber dari Al-Quran). Sedangkan aliran Kejawen yang ada sekarang sebetulnya sudah tidak murni kejawen lagi, melainkan sudah bercampur dengan tradisi islam. Mantranya pun kebanyakan diawali dengan basmalah kemudian dilanjutkan dengan mantra jawa. Oleh kerena itu, saya menyebutnya Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen. Tradisi islam-kejawen inilah yang lebih banyak mewarnai keilmuan Silat Rohani.
Aliran Islam Kejawen
Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen bersumber dari alkulturasi (penggabungan) budaya jawa dan nilai-nilai agama islam. Ciri khas aliran ini adalah doa-doa yang diawali basmalah dan dilanjutkan kalimat bahasa jawa, kemudian diakhiri dengan dua kalimat sahadad. Aliran Islam Jawa tumbuh syubur di desa-desa yang kental dengan kegiatan keagamaan (pesantren yang masih tradisional).
Awal mula aliran ini adalah budaya masyarakat jawa sebelum islam datang yang memang menyukai kegiatan mistik dan melakukan ritual untuk mendapatkan kemampuan suparantural. Para pengembang ajaran islam di Pulau Jawa (Wali Songo) tidak menolak tradisi jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagi senjata dakwah.
Para Wali menyusun ilmu-ilmu Gaib dengan tatacara lelaku yang lebih islami, misalnya puasa, wirid mantra bahasa campuran arab-jawa yang intinya adalah do’a kepada Allah. Mungkin alasan mengapa tidak disusun mantra yang seluruhnya berbahasa Arab adalah agar orang jawa tidak merasa asing dengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal.
Di Indonesia, khususnya orang jawa, pasti mengenal Sunan Kali Jaga (Raden Said). Beliau inilah yang paling banyak mewarnai paham islam-kejawen yang dianut orang-orang jawa saat ini. Sunan Kali jaga menjadikan kesenian dan budaya sebagai kendaraan dakwahnya. Salah satu kendaran Sunan Kali Jaga dalam penyebaran ajarannya adalah melalu tembang / kidung. Kidung-kidung yang diciptakannya mengandung ajaran ketuhanan dan tasawuf yang sangat berharga. Ajaran islam yang luwes dan menerima berbagai perbedaan.
Bahkan Sunan Kali Jaga juga menciptakan satu kidung “Rumeksa Ing Wengi” yang menurut saya bisa disebut sebagai Ilmu Gaib atau Ilmu Supranatural, karena ternyata orang yang mengamalkan kidung ini memiliki berbagai kemampuan supranatural.
Konsep Aliran Islam Kejawen
Setiap perilaku manusia akan menimbulkan bekas pada jiwa maupun badan seseorang. Perilaku-perilaku tertentu yang khas akan menimbulkan bekas yang sangat dasyat sehingga seseorang bisa melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan manusia biasa. Perilaku tertentu ini disebut dengan tirakat, ritual, atau olah rohani. Tirakat bisa diartikan sebagai syarat yang harus dipebuhi untuk mendapatkan suatu ilmu.
Penabungan Energi. Karena setiap perilaku akan menimbulkan bekas pada seseorang maka ada suatu konsep yang khas dari ilmu Gaib Aliran Islam Jawa yaitu Penabungan Energi. Jika bandan fisik anda memerlukan pengisian 3 kali sehari melalui makan agar anda tetap bisa beraktivitas dengan baik, begitu juga untuk memperoleh kekuatan supranatural, Anda perlu mengisi energi. Hanya saja dalam Ilmu Gaib pengisian ernergi cukup dilakukan satu kali untuk seumur hidup. Penabungan energi ini dapat dilakukan dengan cara bermacam-macam tergantung jenis ilmu yang ingin dikuasai. Cara-cara penabunganenergi lazim disebut Tirakat.
Tirakat. Aliran Islam Kejawen mengenal tirakat (syarat mendapatkan ilmu) yang kadang dianggap kontroversial oleh kalangan tertentu. Tirakat tersebut bisa berupa bacaan doa. wirid tertentu, mantra, pantangan, puasa atau penggabungan dari kelima unsur tersebut. Ada puasa yang disebut patigeni (tidak makan, minum, tidur dan tidak boleh kena cahaya), nglowong, ngebleng dan lain-lain. Biasanya beratnya tirakat sesuai dengan tingkat kesaktian suatu ilmu. Seseorang harus banyak melakukan kebajikan dan menjaga bersihnya hati ketika sedang melakukan tirakat.
Khodam. Setiap Ilmu Gaib memiliki khodam. Khodam adalah mahluk ghaib yang menjadi “roh” suatu ilmu. Khodam itu akan selalu mengikuti pemilik ilmu. Khodam disebut juga Qorin, ialah mahluk ghaib yang tidak berjenis kelamin artinya bukan pria dan bukan wanita, tapi juga bukan banci. Dia memang diciptakan semacam itu oleh Allah dan dia juga tidak berhasrat kepada manusia. Hal ini berbeda dengan Jin yang selain berhasrat kepada kaum jin sendiri kadang juga ada yang “suka” pada manusia.
Macam-macam Ilmu Aliran Islam Kejawen
Berikut adalah klasifikasi ilmu gaib bedasarkan fungsinya menurut Erlangga. Mungkin orang lain membuat klasifikasi yang berbeda dengan klasifikasi menurut Erlangga. Hal tersebut bukan masalah karena memang tidak ada rumusan baku tentang klasifikasi ilmu Gaib.
1. Ilmu Kanuragan atau Ilmu Kebal
Ilmu kanuragan adalah ilmu yang berfungsi untuk bela diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Contohnya ilmu Asma’ Malaikat, Hizib Kekuatan Batin, Sahadad Pamungkas dll.
2. Ilmu Kawibaan dan Ilmu Pengasihan
Inilah ilmu supranatural yang fungsinya mempengaruhi kejiwaan dan perasaan orang lain. lmu Kewibaan dimanfaatkan untuk menambah daya kepemimpinan dan menguatkan kata-kata yang diucapkan. Orang yang menguasai Ilmu Kewibawaan dengan sempurna akan disegani masyarakat dan tidak satupun orang yang mampu melawan perintahnya apalagi berdebat. Bisa dikatakan bila Anda memiliki ilmu ini Anda akan mudah mempengaruhi dan membuat orang lain nurut perintah Anda tanpa berpikir panjang.
Sedangkan Ilmu Pengasihan atau ilmu pelet adalah ilmu yang berkaitan dengan maslah cinta, yakni membuat hati seseorang yang Anda tuju menjadi simpati dan sayang. Ilmu ini banyak dimanfaatkan pemuda untuk membuat pujaan hati jatuh cinta padanya. Ilmu ini juga dapat dimanfaatkan untuk membuat lawan yang berhati keras menjadi kawan yang mudah diajak berunding dan memulangkan orang yang minggat.
3. Ilmu Trawangan dan Ngrogosukmo
Jika Anda ingin tahu banyak hal dan bisa melihat kemana-mana tanpa keluar rumah, maka kuasailah ilmu trawangan. Ilmu trawangan berfungsi untuk menajamkan mata batin hingga dapat menangkap isyarat yang halus, melihat jarak jauh, tembus pandang dan lain-lain. Sedangkan Ilmu Ngrogosukmo adalah kelanjutan dari Ilmu Trawagan. Dalam ilmu trawangan hanya mata batin saja yang berkeliaran kemana-mana, sedangkan jika sudah menguasai ilmu ngrogosukmo seseorang bisa melepaskan roh untuk melakukan perjalanan kemanapun dia mau. Baik Ilmu Trawangan maupaun Ngrogosukmo adalah ilmu yang tergolong sulit dipelajari karena membutuhkan keteguhan dan kebersihan hati. Biasanya hanya dikuasi oleh orang yang sudah tua dan sudah tenang jiwanya.
4. Ilmu Khodam
Seseorang disebut menguasai ilmu khodam bila orang yang tersebut bisa berkomunikasi secara aktif dengan khodam yang dimiliki. Khodam adalah makhluk pendamping yang selalu mengikuti tuannya dan bersedia melakukan perintah-perintah tuannya. Khodam sesungguhnya berbeda dengan Jin / Setan, meskipun sama-sama berbadan ghaib. Khodam tidak bernafsu dan tidak berjenis kelamin.
5. Ilmu Permainan (Atraksi)
Ada ilmu supranatural yang hanya bisa digunakan untuk pertunjukan di panggung. Sepintas ilmu ini mirip dengan ilmu kanuragan karena bisa memperlihatkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam, minyak panas dan air keras. Namun ilmu ini tidak bisa digunakan untuk bertaruang pada keadaan sesungguhnya. Contoh yang sering kita lihat adalah ilmunya para pemain Debus.
6. Ilmu Kesehatan
Masuk dalam kelompok ini adalah ilmu gurah (membersihkan saluran pernafasan), Ilmu-ilmu pengobatan, ilmu kuat seks, dan ilmu-ilmu supranatural lain yang berhubungan dengan fungsi bilologis tubuh manusia.
Tiga Cara Penurunan Ilmu Ghaib
Ada tiga hal yang menyebebkan seseorang memiliki kemampuan supranatural. Yaitu:
1.
Menjalankan Tirakat. Tirakat adalah bentuk olah rohani khas jawa yang tujuannya untuk memperoleh energi supranatural atau tercapainya suatu keinginan. Tirakat tersebut bisa berupa bacaan doa, mantra, pantangan, puasa atau gabungan dari kelima unsur tersebut. Inilah yang disebut belajar ilmu gaib sesungguhnya, karena berhasi atau tidaknya murid menjalankan tirakat hingga menguasai ilmu, tergantung sepenuhnya pada dirinya sendiri. Dalam hal ini guru hanya memberi bimbingan.
2.
Pengisian. Seseorang yang tidak mau susah payah juga bisa mempunyai kemampuan supranatural, yaitu dengan cara pengisian. Pengisian adalah pemindahan energi supranatural dari Guru kepada Murid. Dengan begitu murid langsung memiliki kemampuan sama seperti gurunya. Pengisian (transfer ilmu) hanya bisa dilakukan oleh Guru yang sudah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi.
3.
Warisan Keturunan. Seseorang bisa mewarisi ilmu kakek-buyutnya yang tidak ia kenal atau ilmu orang yang tidak dikenal secara otomatis tanpa belajar dan tanpa sepengetahuannya. Maka ada yang menyebutnya “ilmu tiban” yang artinya datang tanpa disangka-sangka.
Mitos Tentang Efek Samping
Beberapa orang masih menyakini bahwa pemilik Ilmu Gaib akan mengalami kesulitan hidup dan mati, susah dapat rezeki, bisa sakit jiwa (gila), menderita saat akan mati dll. Saya membantah mentah-mentah argument tersebut. Bukankah masalah rizqi dan nasib adalah Allah SWT yang menentukan.
Memang ada banyak pemilik ilmu gaib adalah orang yang tak punya uang alias miskin, tapi saya yakin itu bukan disebabkan oleh ilmunya, melainkan karena dia malas bekerja dan bodoh. Kebanyakan orang yang memiliki ilmu gaib menjadi sombong dan malas bekerja, hanya mengharapkan orang datang meminta pertolongannya lalu menyelipkan beberapa lembar rupiah ketika bersalaman. Jadi bukan karena Ilmunya.
Sebetulnya baik buruk efek Ilmu Gaib tergantung pemiliknya. Bisa saja Allah menghukum dengan cara menyulitkan rezeki, menyiksa saat datangnya ajal atau hukuman lain karena orang tersebut sombong dan suka menindas orang lain dengan ilmunya, bukankah kita selalu dalam kekuasaan Allah.
Perlu diterangkan, bahwa keajaiban atau karomah yang ada pada Wali (orang suci kekasih Tuhan) tidak sama dengan Ilmu Gaib yang sedang kita pelajari. Wali tidak pernah mengharap mempunyai keajaiban tersebut. Karomah itu datang atas kehendak Allah karena mereka adalah orang yang sangat saleh dan rendah hati. Sementara kita adalah orang yang meninta kepada Allah agar melimpahakan kekuasaan-Nya untuk keperluan kita.
Dalam hasanah perkembangan Ilmu Gaib di Indonesia, kita mengenal dua aliran utama yaitu Aliran Hikmah dan Aliran Kejawen. Aliran Hikmah berkembang di kalangan pesantren dengan ciri khas doa/mantra yang murni berbahasa Arab (kebanyakan bersumber dari Al-Quran). Sedangkan aliran Kejawen yang ada sekarang sebetulnya sudah tidak murni kejawen lagi, melainkan sudah bercampur dengan tradisi islam. Mantranya pun kebanyakan diawali dengan basmalah kemudian dilanjutkan dengan mantra jawa. Oleh kerena itu, saya menyebutnya Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen. Tradisi islam-kejawen inilah yang lebih banyak mewarnai keilmuan Silat Rohani.
Aliran Islam Kejawen
Ilmu Gaib Aliran Islam Kejawen bersumber dari alkulturasi (penggabungan) budaya jawa dan nilai-nilai agama islam. Ciri khas aliran ini adalah doa-doa yang diawali basmalah dan dilanjutkan kalimat bahasa jawa, kemudian diakhiri dengan dua kalimat sahadad. Aliran Islam Jawa tumbuh syubur di desa-desa yang kental dengan kegiatan keagamaan (pesantren yang masih tradisional).
Awal mula aliran ini adalah budaya masyarakat jawa sebelum islam datang yang memang menyukai kegiatan mistik dan melakukan ritual untuk mendapatkan kemampuan suparantural. Para pengembang ajaran islam di Pulau Jawa (Wali Songo) tidak menolak tradisi jawa tersebut, melainkan memanfaatkannya sebagi senjata dakwah.
Para Wali menyusun ilmu-ilmu Gaib dengan tatacara lelaku yang lebih islami, misalnya puasa, wirid mantra bahasa campuran arab-jawa yang intinya adalah do’a kepada Allah. Mungkin alasan mengapa tidak disusun mantra yang seluruhnya berbahasa Arab adalah agar orang jawa tidak merasa asing dengan ajaran-ajaran yang baru mereka kenal.
Di Indonesia, khususnya orang jawa, pasti mengenal Sunan Kali Jaga (Raden Said). Beliau inilah yang paling banyak mewarnai paham islam-kejawen yang dianut orang-orang jawa saat ini. Sunan Kali jaga menjadikan kesenian dan budaya sebagai kendaraan dakwahnya. Salah satu kendaran Sunan Kali Jaga dalam penyebaran ajarannya adalah melalu tembang / kidung. Kidung-kidung yang diciptakannya mengandung ajaran ketuhanan dan tasawuf yang sangat berharga. Ajaran islam yang luwes dan menerima berbagai perbedaan.
Bahkan Sunan Kali Jaga juga menciptakan satu kidung “Rumeksa Ing Wengi” yang menurut saya bisa disebut sebagai Ilmu Gaib atau Ilmu Supranatural, karena ternyata orang yang mengamalkan kidung ini memiliki berbagai kemampuan supranatural.
Konsep Aliran Islam Kejawen
Setiap perilaku manusia akan menimbulkan bekas pada jiwa maupun badan seseorang. Perilaku-perilaku tertentu yang khas akan menimbulkan bekas yang sangat dasyat sehingga seseorang bisa melakukan sesuatu yang melebihi kemampuan manusia biasa. Perilaku tertentu ini disebut dengan tirakat, ritual, atau olah rohani. Tirakat bisa diartikan sebagai syarat yang harus dipebuhi untuk mendapatkan suatu ilmu.
Penabungan Energi. Karena setiap perilaku akan menimbulkan bekas pada seseorang maka ada suatu konsep yang khas dari ilmu Gaib Aliran Islam Jawa yaitu Penabungan Energi. Jika bandan fisik anda memerlukan pengisian 3 kali sehari melalui makan agar anda tetap bisa beraktivitas dengan baik, begitu juga untuk memperoleh kekuatan supranatural, Anda perlu mengisi energi. Hanya saja dalam Ilmu Gaib pengisian ernergi cukup dilakukan satu kali untuk seumur hidup. Penabungan energi ini dapat dilakukan dengan cara bermacam-macam tergantung jenis ilmu yang ingin dikuasai. Cara-cara penabunganenergi lazim disebut Tirakat.
Tirakat. Aliran Islam Kejawen mengenal tirakat (syarat mendapatkan ilmu) yang kadang dianggap kontroversial oleh kalangan tertentu. Tirakat tersebut bisa berupa bacaan doa. wirid tertentu, mantra, pantangan, puasa atau penggabungan dari kelima unsur tersebut. Ada puasa yang disebut patigeni (tidak makan, minum, tidur dan tidak boleh kena cahaya), nglowong, ngebleng dan lain-lain. Biasanya beratnya tirakat sesuai dengan tingkat kesaktian suatu ilmu. Seseorang harus banyak melakukan kebajikan dan menjaga bersihnya hati ketika sedang melakukan tirakat.
Khodam. Setiap Ilmu Gaib memiliki khodam. Khodam adalah mahluk ghaib yang menjadi “roh” suatu ilmu. Khodam itu akan selalu mengikuti pemilik ilmu. Khodam disebut juga Qorin, ialah mahluk ghaib yang tidak berjenis kelamin artinya bukan pria dan bukan wanita, tapi juga bukan banci. Dia memang diciptakan semacam itu oleh Allah dan dia juga tidak berhasrat kepada manusia. Hal ini berbeda dengan Jin yang selain berhasrat kepada kaum jin sendiri kadang juga ada yang “suka” pada manusia.
Macam-macam Ilmu Aliran Islam Kejawen
Berikut adalah klasifikasi ilmu gaib bedasarkan fungsinya menurut Erlangga. Mungkin orang lain membuat klasifikasi yang berbeda dengan klasifikasi menurut Erlangga. Hal tersebut bukan masalah karena memang tidak ada rumusan baku tentang klasifikasi ilmu Gaib.
1. Ilmu Kanuragan atau Ilmu Kebal
Ilmu kanuragan adalah ilmu yang berfungsi untuk bela diri secara supranatural. Ilmu ini mencakup kemampuan bertahan (kebal) terhadap serangan dan kemampuan untuk menyerang dengan kekuatan yang luar biasa. Contohnya ilmu Asma’ Malaikat, Hizib Kekuatan Batin, Sahadad Pamungkas dll.
2. Ilmu Kawibaan dan Ilmu Pengasihan
Inilah ilmu supranatural yang fungsinya mempengaruhi kejiwaan dan perasaan orang lain. lmu Kewibaan dimanfaatkan untuk menambah daya kepemimpinan dan menguatkan kata-kata yang diucapkan. Orang yang menguasai Ilmu Kewibawaan dengan sempurna akan disegani masyarakat dan tidak satupun orang yang mampu melawan perintahnya apalagi berdebat. Bisa dikatakan bila Anda memiliki ilmu ini Anda akan mudah mempengaruhi dan membuat orang lain nurut perintah Anda tanpa berpikir panjang.
Sedangkan Ilmu Pengasihan atau ilmu pelet adalah ilmu yang berkaitan dengan maslah cinta, yakni membuat hati seseorang yang Anda tuju menjadi simpati dan sayang. Ilmu ini banyak dimanfaatkan pemuda untuk membuat pujaan hati jatuh cinta padanya. Ilmu ini juga dapat dimanfaatkan untuk membuat lawan yang berhati keras menjadi kawan yang mudah diajak berunding dan memulangkan orang yang minggat.
3. Ilmu Trawangan dan Ngrogosukmo
Jika Anda ingin tahu banyak hal dan bisa melihat kemana-mana tanpa keluar rumah, maka kuasailah ilmu trawangan. Ilmu trawangan berfungsi untuk menajamkan mata batin hingga dapat menangkap isyarat yang halus, melihat jarak jauh, tembus pandang dan lain-lain. Sedangkan Ilmu Ngrogosukmo adalah kelanjutan dari Ilmu Trawagan. Dalam ilmu trawangan hanya mata batin saja yang berkeliaran kemana-mana, sedangkan jika sudah menguasai ilmu ngrogosukmo seseorang bisa melepaskan roh untuk melakukan perjalanan kemanapun dia mau. Baik Ilmu Trawangan maupaun Ngrogosukmo adalah ilmu yang tergolong sulit dipelajari karena membutuhkan keteguhan dan kebersihan hati. Biasanya hanya dikuasi oleh orang yang sudah tua dan sudah tenang jiwanya.
4. Ilmu Khodam
Seseorang disebut menguasai ilmu khodam bila orang yang tersebut bisa berkomunikasi secara aktif dengan khodam yang dimiliki. Khodam adalah makhluk pendamping yang selalu mengikuti tuannya dan bersedia melakukan perintah-perintah tuannya. Khodam sesungguhnya berbeda dengan Jin / Setan, meskipun sama-sama berbadan ghaib. Khodam tidak bernafsu dan tidak berjenis kelamin.
5. Ilmu Permainan (Atraksi)
Ada ilmu supranatural yang hanya bisa digunakan untuk pertunjukan di panggung. Sepintas ilmu ini mirip dengan ilmu kanuragan karena bisa memperlihatkan kekebalan tubuh terhadap benda tajam, minyak panas dan air keras. Namun ilmu ini tidak bisa digunakan untuk bertaruang pada keadaan sesungguhnya. Contoh yang sering kita lihat adalah ilmunya para pemain Debus.
6. Ilmu Kesehatan
Masuk dalam kelompok ini adalah ilmu gurah (membersihkan saluran pernafasan), Ilmu-ilmu pengobatan, ilmu kuat seks, dan ilmu-ilmu supranatural lain yang berhubungan dengan fungsi bilologis tubuh manusia.
Tiga Cara Penurunan Ilmu Ghaib
Ada tiga hal yang menyebebkan seseorang memiliki kemampuan supranatural. Yaitu:
1.
Menjalankan Tirakat. Tirakat adalah bentuk olah rohani khas jawa yang tujuannya untuk memperoleh energi supranatural atau tercapainya suatu keinginan. Tirakat tersebut bisa berupa bacaan doa, mantra, pantangan, puasa atau gabungan dari kelima unsur tersebut. Inilah yang disebut belajar ilmu gaib sesungguhnya, karena berhasi atau tidaknya murid menjalankan tirakat hingga menguasai ilmu, tergantung sepenuhnya pada dirinya sendiri. Dalam hal ini guru hanya memberi bimbingan.
2.
Pengisian. Seseorang yang tidak mau susah payah juga bisa mempunyai kemampuan supranatural, yaitu dengan cara pengisian. Pengisian adalah pemindahan energi supranatural dari Guru kepada Murid. Dengan begitu murid langsung memiliki kemampuan sama seperti gurunya. Pengisian (transfer ilmu) hanya bisa dilakukan oleh Guru yang sudah mencapai tingkatan spiritual yang tinggi.
3.
Warisan Keturunan. Seseorang bisa mewarisi ilmu kakek-buyutnya yang tidak ia kenal atau ilmu orang yang tidak dikenal secara otomatis tanpa belajar dan tanpa sepengetahuannya. Maka ada yang menyebutnya “ilmu tiban” yang artinya datang tanpa disangka-sangka.
Mitos Tentang Efek Samping
Beberapa orang masih menyakini bahwa pemilik Ilmu Gaib akan mengalami kesulitan hidup dan mati, susah dapat rezeki, bisa sakit jiwa (gila), menderita saat akan mati dll. Saya membantah mentah-mentah argument tersebut. Bukankah masalah rizqi dan nasib adalah Allah SWT yang menentukan.
Memang ada banyak pemilik ilmu gaib adalah orang yang tak punya uang alias miskin, tapi saya yakin itu bukan disebabkan oleh ilmunya, melainkan karena dia malas bekerja dan bodoh. Kebanyakan orang yang memiliki ilmu gaib menjadi sombong dan malas bekerja, hanya mengharapkan orang datang meminta pertolongannya lalu menyelipkan beberapa lembar rupiah ketika bersalaman. Jadi bukan karena Ilmunya.
Sebetulnya baik buruk efek Ilmu Gaib tergantung pemiliknya. Bisa saja Allah menghukum dengan cara menyulitkan rezeki, menyiksa saat datangnya ajal atau hukuman lain karena orang tersebut sombong dan suka menindas orang lain dengan ilmunya, bukankah kita selalu dalam kekuasaan Allah.
RAHASIA FILSAFAT KEJAWEN
Dalam literatur dan kaidah kebudayaan
Jawa tidak ditemukan adanya pakem dalam kalimah doa serta tata cara baku
menyembah Tuhan. Dalam budaya Jawa dipahami bahwa Tuhan Maha Universal
dan kekuasaanNya tiada terbatas. Pun dalam kejawen, karena bukan lah
agama, maka dalam falsafah kejawen yang ada hanyalah wujud “laku
spiritual” dalam tataran batiniahnya, dan “laku ritual” dalam tataran
lahiriahnya.
Laku ritual merupakan simbolisasi dan
kristalisasi dari laku spiritual. Ambil contoh misalnya mantra, sesaji,
laku sesirih (menghindari laku pantangan) serta laku semedi atau
meditasi. Banyak kalangan yang tidak memahami asal usul dan makna dari
semua itu, lantas begitu saja timbul suatu asumsi bahwa mantra sama
halnya dengan doa. Sedangkan sesaji, laku sesirih dan laku semedi
dipersepsikan sama maknanya dengan ritual menyembah Tuhan. Asumsi dan
persepsi ini salah besar.
Menurut para pengamat, kaum akademisi
dan budayawan, ada suatu unsur kesengajaan untuk mempersepsikan dan
mengasumsikan secara tidak tepat dan melenceng dari makna yang
sesungguhnya. Semoga hal itu bukan termasuk upaya politisasi sistem
kepercayaan, untuk mendestruksi budaya Jawa yang sudah “mbalung sungsum”
di kalangan suku Jawa, dengan harapan supaya terjadi loncatan paradigma
kearifan lokal kepada paradigma asing yang secara naratif menjamin
surga.
Awal dari penggeseran dilakukan oleh
bangsa asing yang akan menjalankan praktik imperialisme dan kolonialisme
di bumi nusantara sejak ratusan tahun silam. Baiklah, terlepas dari
semua anggapan, asumsi maupun persepsi di atas ada baiknya dikemukakan
wacana yang mampu mengembalikan persepsi dan asumsi terhadap ajaran
kejawen sebagaimana makna yang sesungguhnya.
Setidaknya, kejawen dapat menjadi
monumen sejarah yang akan dikenang dan dikenal oleh generasi penerus
bangsa ini. Agar menumbuhkan semangat berkarya dan nasionalisme di
kalangan generasi muda. Di samping itu ada kebanggaan tersendiri,
sekalipun zaman sekarang dianggap remeh namun setidaknya nenek moyang
bangsa Indonesia pernah membuktikan kemampuan menghasilkan karya-karya
agung bernilai tinggi
MELURUSKAN MAKNA
Mantra tidaklah sama maknanya dengan
doa. Bila doa merupakan permohonan kepada Tuhan YME, sedangkan mantra
itu umpama menarik picu senapan yang bernama daya hidup. Daya hidup
manusia pemberian Tuhan Yang Mahakuasa. Pemberian sesaji, laku sesirih
(mencegah) dan laku semedi memiliki makna tatacara memberdayakan daya
hidup agar dapat menjalankan kehidupan yang benar, baik dan tepat. Yakni
menjalankan hidup dengan mengikuti kaidah “memayu hayuning bawana”.
Daya kehidupan manusia menjadi faktor
adanya aura magis (gelombang elektromagnetik) yang melingkupi badan
manusia. Aura magis memiliki sifatnya masing-masing karena perbedaan
esensi dari unsur-unsur yang membangun menjadi jasad manusia.
Unsur-unsur tersebut berasal dari bumi, langit, cahya dan teja yang
keadaannya selalu dinamis sepanjang masa. Untuk menjabarkan hubungan
antara sifat-sifat dan esensi dari unsur-unsur jasad tersebut lahirlah
ilmu Jawa yang bertujuan untuk menandai perbedaan aura magis berdasarkan
weton dan wuku.
Aura magis dalam diri manusia dengan
aura alam semesta terdapat kaitan erat. Yakni gelombang energi yang
saling mempengaruhi secara kosmis-magis. Dinamika energi yang saling
mempengaruhi mempunyai dua kemungkinan yakni pertama; bersifat saling
berkaitan secara kohesif dan menyatu (sinergi) dalam wadah keharmonisan,
kedua; energi yang saling tolak-menolak (adesif). Laku sesirih (meredam
segala nafsu) dan semedi (olah batin) merupakan sebuah upaya
harmonisasi dengan cara mensinergikan aura magis mikrokosmos dalam
kehidupan manusia (inner world) dengan aurora alam semesta makrokosmos
(lihat juga dalam posting “Sejatinya Guru Sejati”). Agar tercipta suatu
hubungan transenden yang harmonis dalam dimensi vertikal (pancer) antara
manusia dengan Tuhan dan hubungan horisontal yakni manusia sebagai
jagad kecil dengan jagad besar alam semesta.
PRINSIP KESEIMBANGAN, KESELARASAN & HARMONISASI
Sesaji atau sajen jika dipandang dari
perspektif agama Abrahamisme, kadang dianggap berkonotasi negatif,
sebagai biang kemusyrikan (penyekutuan Tuhan). Tapi benarkah manusia
menyekutukan dan menduakan Tuhan melalui upacara sesaji ini ? Seyogyanya
jangan lah terjebak oleh keterbatasan akal-budi dan nafsu golek menange
dewe (cari menangnya sendiri) dan golek benere dewe (cari benernya
sendiri).
Maksud sesaji sebenarnya merupakan
suatu upaya harmonisasi, melalui jalan spiritual yang kreatif untuk
menselaraskan dan menghubungkan antara daya aura magis manusia, dengan
seluruh ciptaan Tuhan yang saling berdampingan di dunia ini, khususnya
kekuatan alam maupun makhluk gaib.
Dengan kata lain sesaji merupakan
harmonisasi manusia dalam dimensi horisontal terhadap sesama makhluk
ciptaan Tuhan. Harmonisasi diartikan sebagai kesadaran manusia.
Sekalipun manusia dianggap (menganggap diri) sebagai makhluk paling
mulia, namun tidak ada alasan untuk mentang-mentang merasa diri paling
mulia di antara makhluk lainnya. Karena kemuliaan manusia tergantung
dari cara memanfaatkan akal-budi dalam diri kita sendiri. Bila akal-budi
digunakan untuk kejahatan, maka kemuliaan manusia menjadi bangkrut,
masih lebih hina sekalipun dibanding dengan binatang paling hina.
HARMONI & KESELARASAN MERUPAKAN WAHYU TUHAN
Dalam konteks kebudayaan Jawa, wahyu
diartikan sebagai sebuah konsep yang mengandung pengertian suatu karunia
Tuhan yang diperoleh manusia secara gaib. Wahyu juga tidak dapat
dicari, tetapi hanya diberikan oleh Tuhan, sedangkan manusia hanya dapat
melakukan upaya dengan melakukan mesu raga dan mesu jiwa dengan jalan
tirakat, bersemadi, bertapa, maladihening, dan berbagai jalan lain yang
berkonotasi melakukan laku batin.
Tapi tidak setiap kegiatan laku batin
itu akan mendapatkan wahyu, selain atas kehendak atau anugrah Tuhan Yang
Maha Esa. Sedangkan wahyu menurut kamus Purwadarminta mempunyai
pengertian suatu petunjuk Tuhan atau ajaran Tuhan yang perwujudannya
bisa dalam bentuk mimpi, ilham dan sebagainya. Dalam konteks budaya
Jawa, wahyu dipandang sebagai anugrah Tuhan yang sekaligus membuktikan
bahwa Tuhan bersifat universal, Mahaluas tanpa batas, dan Tuhan yang
Mahakasih tidak akan melakukan pilih kasih dalam menorehkan wahyu bagi
siapa saja yang Tuhan kehendaki.
Falsafah Jawa memandang suatu makna
terdalam dari sifat hakekat Tuhan yang Maha Adil, yang memiliki
konsekuensi bahwa wahyu bukanlah hak atau monopoli suku, ras, golongan,
atau bangsa tertentu.
Mekanisme kehidupan di alam semesta
adalah bersifat dinamis. Dinamika kehidupan berada dalam pola hubungan
yang mengikuti prinsip-prinsip keharmonisan, keseimbangan, atau
keselarasan (sinergi) jagad raya seisinya. Dinamika dan pola hubungan
demikian sudah menjadi hukum atau rumus Tuhan Yang Maha Memelihara
sebagai ANUGRAH terindah kepada semua wujud ciptaanNYA, baik yang
bernyawa maupun yang tidak bernyawa.
WAHYU PURBA
Anugrah tersebut dalam terminologi
Kejawen dikenal istilah Wahyu Purba. Kata Purba, menurut kamus
Purwadarminta mempunyai arti memelihara. Wahyu Purba mempunyai
pengertian, Dewa Wisnu atau sama hakekatnya dengan kebenaran Illahiah,
adalah bersifat memelihara. Ini suatu pelajaran hidup yang mengandung
“rumus Tuhan” bahwa di dalam kehidupan alam semesta dengan segala isinya
termasuk juga manusia, semua dipelihara oleh kebenaran sejati, yakni
kebenaran Illahi. Di mana kehidupan alam semesta dan manusia akan
mengalami keselarasan, keselamatan, ketenteraman, kebahagiaan dan
kesejahteraan apabila nilai kebenaran bisa dihayati dan ditegakkan
dengan baik dan benar.
Walaupun manusia percaya bahwa hidup
ini dipelihara oleh kebenaran Illahi atau kebenaran Tuhan, masih juga
terdapat ketidakbenaran dan kejahatan yang dapat menimbulkan kekacauan
dan mengganggu keselarasan, kebahagiaan, ketentraman dan kesejahteraan.
Semua itu terjadi sebagai akibat “kenekadan” manusia melakukan
pelanggaran hukum kebenaran. Untuk memelihara ketenteraman dan
kesejahteraan dunia maka dewa Wisnu turun ke dunia menitis pada Prabu
Arjunawijaya (Arjunasasrabahu) raja Negara Maespati, dan kepada
Ramawijaya, raja Negara Ayodya.
WAHYU DYATMIKA
Barang siapa yang berhasil membangun
harmonisasi dan sinergi atau keselarasan energi antara “jagad kecil”
yang ada di dalam diri pribadi (inner world) dengan “jagad raya” disebut
sebagai orang yang sudah memperoleh wahyu dyatmika. Dyatmika berarti
batin, atau hati, wahyu dyatmika artinya wahyu Tuhan yang diterima
seseorang untuk memiliki daya linuwih meliputi daya cipta, daya rasa,
dan daya karsa yang disebut sebagai prana. Prana dalam terminologi Jawa
berbeda dengan perguruan tenaga prana sebagaimana dikenal masyarakat
sebagai seni bela diri dan olah tenaga dalam.
HUBUNGAN MANTRA DENGAN PRINSIP KESELARASAN
Mantra adalah Teknologi Kuno
Perlu kita tegaskan lagi bahwa mantra
BUKANLAH DOA, akan tetapi merupakan sejenis SENJATA atau ALAT berujud
kata-kata atau kalimat sebagai “teknologi spiritual” tingkat tinggi
hasil karya leluhur nusantara di masa silam. Mantra dibuat melalui
tahapan spiritual yang tidak mudah, bentuknya laku prihatin, perilaku
utama dan maneges kepada Tuhan, yang ditempuh dengan cara tidak ringan.
Hasilnya beragam, secara garis besar ada dua jenis mantra (baca;
senjata) yakni;
1. Khusus menurut fungsinya; hanya
dapat digunakan untuk keperluan tertentu misalnya menaklukkan musuh di
medan perang. Atau diperuntukkan sebagai alat “medis” sebagai mantra
untuk penyembuhan.
2. Mantra khusus menurut sifatnya;
dibagi dua; pertama, mantra yang hanya dapat BEKERJA jika digunakan
untuk hal-hal sifatnya baik saja. Mantra jenis ini tidak dapat
disalahgunakan untuk hal-hal buruk oleh si pemakai. Mantra jenis ini
paling sering digunakan di lingkungan kraton sebagai salah satu tradisi
turun temurun. Kedua; mantra yang bersifat umum, bebas digunakan untuk
acara dan keperluan apa saja tergantung kemauan si pemakai. Ibarat pisau
dapat digunakan sebagai alat bedah operasi, alat memasak, atau
disalahgunakan untuk mencelakai orang. Namun mantra jenis ini setiap
penyalahgunaannya pasti memiliki konsekuensi yang berat berupa karma
atau hukuman Tuhan yang dirasakan langsung maupun kelak setelah ajal.
Citra Buruk Karena Pemahaman Yang Salah Kaprah
Terdapat pula kesalahan memaknai mantra
secara simpang siur; di mana mantra dianggap sebagai hal yang selalu
berhubungan dengan setan/makhluk halus dan bersifat negatif/hitam.
Misalnya lafald komat-kamit yang diucapkan seorang dukun santet, itu
bukanlah sejenis mantra, namun password atau kata kunci, atau kode
isyarat berupa kata-kata untuk memanggil sekutunya yakni sejenis jin,
“setan” atau makhluk gaib sebagai pesuruh agar mencelakai korbannya.
Perlu saya luruskan bahwa yang demikian ini, bukan termasuk mantra. Lalu
apakah substansi dari mantra itu sendiri ? Baiklah, berikut ini kami
berusaha mendeskripsikan kronologi dan proses bagaimana mantra
(teknologi kuno) dapat diciptakan oleh manusia zaman dulu yang banyak
dicap menganut faham religi primitif.
Hamemayu Hayuning Bawono & RAT, serta Pangruwating Diyu
Di atas telah saya singgung sedikit
mengenai PRANA, sebagai sinergisme dan harmonisasi energi
vertikal-horisontal, mikro-makro kosmos, inner wolrd dengan alam
semesta, jagad kecil dengan jagad besar. Mantra merupakan salah satu
bentuk pendayagunaan prana. Khusus untuk mantra umum, agar supaya
siapapun yang memanfaatkan mantra umum tidak menyalahgunakannya untuk
hal-hal yang negatif, ajaran Jawa menekankan keharusan eling dan
waspada.
Sikap eling dan waspada akan memelihara
seseorang dalam mendayagunakan prana yang berwujud mantra yang
dimanfaatkan untuk kebaikan hidup bersama menggapai ketentraman dan
kesejahteraan. Yang paling utama bilamana semua jenis mantra ditujukan
sebagai upaya untuk keselarasan dan harmonisasi alam semesta dalam
dimensi horisontal dan vertikal dengan Yang Transenden.
Mantra adalah salah satu bentuk
pencapaian dalam pergumulan laku spiritual “Sastra Jendra” sedangkan
tujuannya yang mulia menjadi makna di balik “Hamemayu hayuning Rat,
hamemayu hayuning bawono, lan pangruwating diyu” (lihat posting; “Puncak
Ilmu Kejawen”). Menjadi satu kalimat dalam falsafah Jawa tingkat tinggi
yakni “Sastra jendra, hayuning Rat, pangruwating diyu”. Yang tidak lain
untuk menyebut pencapaian spiritual dalam konteks kemanunggalan diri
dengan alam semesta (Hamemayu hayuning Bawono).
Dalam rangka panembahan pribadi
dimanifestasikan budi pekerti luhur (Hangawula kawulaning
Gusti/Pangruwating diyu), keduanya BERPANGKAL dan BERUJUNG pada
panembahan kepada Tuhan Yang Maha Tunggal (Hamemayu hayuning Rat).
Dengan kata lain budi pekerti membangun dua dimensi jagad, yakni; jagad
kecil (pribadi) dan jagad besar manembah kepada Tuhan YME.
Bentuk panembahan dalam pada tingkat
tata lahir (sembah raga/syariat) dimanifestasikan dalam berbagai
kearifan budaya yang menampilkan berbagai keindahan tradisi misalnya;
upacara ruwat bumi seperti garebeg, suran, nyadranan, apitan dan
sebagainya. Atau berbagai upacara kidungan, ritual gamelan, bedhaya
ketawang, dan seterusnya. Intinya adalah rasa kebersamaan dalam manembah
pada tingkat tata batin (sembah jiwa), menyatukan kekuatan hidup atau
prana kehidupan untuk mewujudkan mantra-agung (mahamantra) yakni sastra
jendra yang berfungsi membangun keseimbangan (balancing) dan keselarasan
(harmonic) antara aura spiritual manunsia dengan aura spiritual jagad
raya seisinya.
Tujuan utama dari balancing dan
harmonic jelas sekali jauh dari tuduhan subyektif musrik maupun bid’ah,
jelas ia sebagai bentuk konkritisasi doa untuk mohon keselamatan bagi
alam semesta dan seluruh isinya.
Sayang sekali, zaman semakin berubah,
perilaku budi daya yang memiliki nilai kearifan (wisdom) yang tinggi,
telah banyak ditinggalkan orang Jawa sendiri. Alasannya demi mikul duwur
mendhem jero falsafah dan budaya asing. Atau takut oleh tuduhan-tuduhan
subyektif, yang hanya berdasar prasangka buruk (su’udhon), dan tidak
berdasarkan metode ilmiah maupun informasi lengkap dan jelas. Sebuah
nasib yang tragis ! Tradisi yang masih dapat dijalankan pun akhirnya
hilang nilai kesakralannya. Grebeg, suran, sadranan, apitan telah
melenceng dari nilai luhur yang sesungguhnya yakni menyatukan prana
kehidupan. Sebaliknya tradisi tersebut hanya sekedar menjadi tontonan
murahan, menjadi kebiasaan yang diulang-ulang (custom), pemerintah
melestarikan tardisi hanya karena bermotif materialistis laku dijual,
dan menjadi daya tarik turis asing karena mungkin dianggap aneh dan lucu
saja. Seaneh dan selucu cara bangsa ini memandang dan memahaminya.
Itulah, wujud “sejati” wong Jawa kang
kajawan (ilang jawane), rib-iriban. Manusia telah menjadi seteru Tuhan,
karena telah melanggar rumus (hukum) kodratulah, yakni harmonisasi dan
keseimbangan alam semesta. Rusaknya prinsip keseimbangan alam semesta
berakibat fatal dan kini dapat kita rasakan dan saksikan sendiri; hujan
salah musim, jadwal musim kemarau-penghujan tidak disiplin, kekeringan,
kebakaran, banjir, tanah longsor, elevasi suhu bumi, distorsi cuaca,
hutan gundul, sungai banyak kering, satwa liar semakin langka dan
mengalami kepunahan. Distorsi musim mengakibatkan gagal panen, hama
tanaman, wabah penyakit aneh-aneh (pagebluk), serangan hawa panas dan
hawa dingin secara ekstrim.
Semoga ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita semua. Rahayu..rahayu
Sumber Tulisan dari: kaskus.com

Tidak ada komentar:
Posting Komentar